Oleh Drs. Abd. Rachman Assegaf, M. Ag., dkk.
Tindak
kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga
pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif.
Namun tak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi
tindak kekerasan. Akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu
guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan
menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang
guru oleh raga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang
beberapa kali putaran. Tapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut
tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD
Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling
lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu,
terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap
siswinya saat acara camping.
Selain tersebut di atas,
banyak lagi kasus kekerasan pendidikan masih melembari wajah
pendidikan kita.
Dalam
melihat fenomena ini, beberapa analisa bisa diajukan: pertama,
kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang
disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang
melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas
atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa
yang disebut dengan tindak kekerasan. Tawuran antarpelajar atau
mahasiswa merupakan contoh kekerasan ini. Selain itu, kekerasan dalam
pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk
pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah. Misalnya,
siswa mbolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
Kedua,
kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan
kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya
mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan
afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan.
Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan
masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian
vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan. Keempat,
kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan
masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan
timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Dan,
kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang
sosial-ekonomi pelaku.
Kasus
perilaku kekerasan dalam pendidikan juga bervariasi: pertama,
kategori ringan, langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan
kekerasan susulan atau aksi balas dendam oleh si korban. Untuk
kekerasan dalam klasifikasi ini perlu dilihat terlebih dahulu, apakah
kasusnya selesai secara intern di sekolah dan tidak diekspos oleh
media massa ataukah tidak selesai dan diekspos oleh media massa.
Kedua, kategori sedang namun tetap diselesaikan oleh pihak
sekolah dengan bantuan aparat, dan ketiga, kategori berat yang
terjadi di luar sekolah dan mengarah pada tindak kriminal serta
ditangani oleh aparat kepolisian atau pengadilan. Umumnya kasus
perilaku kekerasan kategori ringan dan sedang ini terjadi di lingkup
sekolah, masih berada dalam jam sekolah/ kuliah dan membawa atribut
sekolah. Lingkup inilah yang akan menjadi sosotan dalam penelitian
ini.
Penelitian
dengan menggunakan metode deskriptif-analitis ini bertujuan membuat
tipologi perilaku kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, terutama
pasca reformasi sembari mencari kondisi apa saja yang
melatarbelakangi munculnya kekerasan dalam pendidikan tersebut.
Sebagai tanggung jawab moral, penelitian ini juga mengusulkan
kebijakan publik guna membenahi pendidikan kondisi pendidikan yang
lebih humanis, sehingga mampu mencegah berlanjutnya kekerasan dalam
pendidikan tersebut.
Kekerasan
dalam Pendidikan
Untuk
memotret persoalan ini, perlu ditelaah terlebih dahulu kondisi
pendidikan dewasa ini, yakni kondisi internal dan kondisi eksternal.
Kondisi internal merupakan faktor internal yang berpengaruh langsung
bagi perilaku para pelajar/ mahasiswa beserta pendidiknya, termasuk
perilaku kekerasan. Sedangkan kondisi eksternal adalah kondisi
non-pendidikan yang merupakan faktor tidak langsung bagi timbulnya
potensi kekerasan dalam pendidikan.
Merujuk
kepada kondisi internal, sejauh ini dijumpai kesenjangan
(discrepancy, gap) yang cukup dalam antara upaya pemerintah
dalam memajukan pendidikan (idealitas) dengan kondisi riil yang
dialami di lapangan (realitas). Diakui bahwa pemerintah telah
berupaya memperhatikan masalah pendidikan nasional sejak awal
kemerdekaan, era Orde Baru hingga saat ini. Pada awal Orde Baru,
yakni masa Repelita I (1969-1974), jumlah realisasi pengeluaran
pembangunan untuk sektor pendidikan dan kebudayaan adalah 77,7 miliar
rupiah atau 8,2 % dari total biaya seluruh sektor pembangunan yang
mencapai 944,6 miliar rupiah. Sedangkan jumlah realisasi bantuan
proyek untuk sektor pendidikan dan kebudayaan mencapai 6,1 miliar
rupiah atau hanya 2,1 % dari total bantuan proyek untuk seluruh
sektor pembangunan nasional yang mencapai 288,2 miliar rupiah.
Hingga
akhir Orde Baru (1998), Angka Partisipasi Kasar (APK) SD termasuk MI
telah meningkat dari 111,9 % pada tahun 1995/1996 menjadi 112,4 %
pada 1996/1997. Di tingkat SLTP, pada tahun 1996/1997 telah dibangun
sebanyak 392 unit gedung baru (UGB) dan 6,5 ribu ruang kelas baru
(RKB) yang seluruhnya setara dengan 8,9 RKB. Upaya tersebut telah
berhasil meningkatkan daya tampung murid baru SLTP dari sekitar 2,6
juta orang pada tahun 1995/1996 menjadi 2,8 juta orang pada
1996/1997. Jumlah murid seluruhnya juga meningkat yaitu dari 6,9 juta
pada 1995/1996 menjadi 7,6 juta pada 1996/1997. Dengan demikian APK
sekolah lanjutan SLTP termasuk MTs naik dari 60,8 % pada tahun
1995/1996 menjadi 68,7 % pada tahun 1996/1997 yang berarti telah
melampaui sasaran tahun ketiga Repelita VI, yaitu 60,2 %.
Di
tingkat SLTA, pada 1995/1996 memiliki murid sebanyak 2,6 juta lalu
meningkat pada 1996/1997 menjadi 2,8 juta. Sementara untuk SMK
meningkat dari 1,7 juta menjadi 1,8 juta murid. Dengan demikian, APK
SLTA meningkat dari 32,8 % pada tahun 1995/1996 menjadi 34,4 pada
tahun 1996/1997. Apabila murid MA diperhitungkan, maka APK SLTA pada
tahun ketiga Repelita tersebut mencapai 38,0 % yang berarti telah
melampaui sasaran ketiga Repelita VI, yaitu 35,4 %.
Di
tingkat Perguruan Tinggi (PT), jumlah mahasiswa meningkat dari 2,4
juta pada 1995/1996 menjadi sekitar 2,5 juta orang pada 1996/1997.
Namun, karena kenaikan jumlah penduduk usia 19-24 tahun, APK PT pada
tahun ketiga Repelita VI masih tetap seperti tahun sebelumnya, yaitu
10,6 %. Apabila jumlah mahasiswa PTA diperhitungkan, maka APK PT pada
tahun 1996/1997 adalah 11,8 % yang berarti telah mencapai sasaran
tahun ketiga Repelita VI yang juga sebesar 11,8 %.
Pun
demikian, kondisi pendidikan kita saat ini sesungguhnya
memprihatinkan, terutama sekali di lingkungan SD. Di Banjarmasin,
ribuan gedung SD rusak berat. Di Banjarnegara, dari 722 SD yang
beroperasi, sebanyak 400 bangunan di antaranya kondisinya rusak
parah, sementara 4 bangunan SD sudah roboh. Sebanyak 323 SD/MI di
Semarang rusak parah, dan akibat kekurangan murid, 470 SD Inpres
se-Jateng di tutup. Di Yogyakarta, 30 % gedung SD rusak, sedang tiap
kecamatan di Sleman kekurangan 30 guru. Kondisi demikian dialami oleh
SD/MI di beberapa daerah lain.
Selain
aspek bangunan, kondisi guru dan murid juga belum menggembirakan. 50
% guru SD yang ada masih di bawah standar, sejumlah 99.033 guru SD di
bawah D-2. Alokasi dana yang dianggarkan oleh pemerintah teramat
kecil bila dibandingkan dengan kondisi yang ada, apalagi bila ditilik
perbandingannya dengan negara lain. Angka drop out juga
tinggi. Tercatat sebanyak 15.000 lulusan SD-SLTP di Kabupaten
Grobogan tahun pelajaran 2002/2003 diperkirakan tak bersekolah
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, di antaranya disebabkan
karena pernikahan dini. Sebab ekonomi juga berpengaruh. Sedikitnya
275 anak di Sleman, Yogyakarta, pada tahun 2001 putus sekolah karena
kesulitan biaya. Sementara itu, sejumlah 839.645 anak usia sekolah di
Jateng terlantar, tidak bisa meneruskan sekolah karena miskin.
Kondisi
kesehatan anak sekolah juga memilukan. Di Sidoarjo, berdasarkan
penelitian Diskes terhadap siswa-siswi SD/MI dengan sampel berjumlah
350 SD/MI, pada 1993 sebanyak 52,3 % siswa menderita kekurangan
yodium, lalu meningkat drastis pada 2002 menjadi 75,6 %. Menurut ahli
asma anak, dr Noenoeng Raharjoe, berdasarkan survei dari Aceh hingga
Manado, ditemukan fakta bahwa satu dari enam anak SD menderita
penyakit asma. Secara umum, di kebanyakan sekolah juga rawan
terjangkit Demam Berdarah. Bahkan terjadi puluhan siswa SD Demangan
01 Kota, Madiun, mengalami keracunan setelah minum susu PMTAS
(Program Makanan Tambahan Anak Sekolah). Selain itu, di Kulon Progo,
Yogyakarta, 54 SMUN 1 Temon yang diduga terjangkit Hepatitis A akan
dibekali kaporit. Sementara di Pacitan, dijumpai 50 % pelajar
menderita anemia.
Di
lingkungan sekolah menengah, baik SLTP maupun SMU juga mengalami
nasib tak jauh beda. Di Yogyakarta, 28 % lulusan SLTA menganggur. SMU
Negeri maupun Swasta minus siswa. Di Magelang, lulusan SLTP yang
melanjutkan ke SMU maupun SMK hanya 51 %. Jumlah pendaftar Penerimaan
Mahasiswa Baru (PMB) di UNS Solo tahun ini juga menurun.
Sedangkan
kondisi eksternal terutama tampak dalam kehidupan sosial dan budaya
masyarakat, di mana pelaku pendidikan berada di dalamnya. Sejauh ini
masalah narkoba, pornografi, miras, dan pergaulan bebas, serta tindak
kriminal, merupakan masalah sosio-kultural yang sebagian ditemukan
melibatkan pelaku yang terkait dengan simbol dan citra pendidikan.
Selama
empat tahun terakhir, angka kejahatan narkoba di Indonesia naik
signifikan 90 %, dari 958 kasus pada 1998 menjadi 3.617 kasus pada
2001. Penggunanya bukan lagi masyarakat umum, namun juga kalangan
mahasiswa dan pelajar. Peredaran narkoba ini bahkan telah merambah ke
kalangan pelajar SLTP dan SD. Di Bogor, 16 siswa SLTP dipecat karena
terbukti mengkonsumsi narkoba. Sementara itu di Yogya ditemukan
indikasi bahwa pemakaian narkotika ini sudah masuk ke SD.
Hal
yang sama juga terjadi pada tayangan pornografi. Pornografi merupakan
tantangan besar bagi masyarakat dan pendidikan. Sebab, bila
pornografi dibiarkan, akan merusak moral rakyat, membuka peluang
perkosaan, dan pernikahan dini. Masalah pergaulan bebas juga menjadi
masalah krusial dalam pendidikan kita, terutama bagi pelajar dan
mahasiswa. Menurut Romli Atmasasmita, menjadi preman bukanlah karena
turunan orang tua, melainkan melalui proses pergaulan ini. Beberapa
penelitian mengenai pergaulan bebas ini telah diungkap secara
langsung, di antaranya adalah penelitian tentang virginitas para
mahasiswa Yogyakarta yang dipublikasikan pada Agustus 2002 yang lalu,
terlepas dari polemik dan kontroversi yang muncul mengenai penelitian
ini. Paling tidak, penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah
terjadi pergeseran pola pergaulan di kalangan pelajar dan mahasiswa,
ke arah yang lebih bebas. Kekerasan dalam pendidikan bisa dipengaruhi
secara tidak langsung oleh kondisi eksternal ini.
Tipologi
Kekerasan dalam Pendidikan
Menurut
Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasan
(violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik secara
terbuka (overt) maupun tertutup (covert), dan baik yang
bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive),
yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Dari
definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:
pertama¸ kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat
atau diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan
massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah kasus
pengeroyokan 4 siswa SMKI terhadap temannya Suharyanyo (17 tahun),
siswa kelas tiga SMKI yang dianiaya hingga meninggal karena alasan
dugaan penipuan order mendalang. Kedua, kekerasan tertutup
yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung,
seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang
menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman
dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai
kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya.
Misalnya, kasus demonstrasi mahasiswa menolak SK Rektor UGM
Yogyakarta tentang Biaya Operasional Pendidikan atau BOP, kedua belah
pihak saling mengancam. Di satu sisi, pihak UGM akan melakukan
sweeping KTP para demonstran, di pihak lain, mahasiswa
mengancam akan melakukan demo besar-besaran.
Ketiga,
kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan
untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan
atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku
kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut
hukum tertentu. Contohnya kasus pembobolan di Universitas Jember,
pencabulan terhadap siswa SD atau SLTP, atau penembakan guru SD
hingga tewas. Keempat, kekerasan defensif (defensive)
yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti
barikade aparat untuk menahan aksi demo lainnya. Sengketa tanah warga
dengan pihak sekolah, merupakan contoh yang relevan.
Dari
sisi tingkat (level) kekerasan, intensitas suatu kekerasan
bisa meningkat dari kekerasan ringan atau potensi menjadi
kekerasan tingkat sedang bahkan dapat berlanjut pada kekerasan
tingkat berat, berupa tindak kriminal dalam pendidikan. Kekerasan
disebut dalam bentuk potensi, bilamana memiliki indikator
sebagai berikut: bersifat tetutup, berupa unjuk rasa untuk
menyampaikan aspirasi, pelecehan nama baik seseorang, dan ancaman
atau intimidasi. Bila kekerasan tertutup berubah menjadi konflik
terbuka, unjuk rasa berubah menjadi bentrok, ancaman berubah menjadi
tindakan nyata, dan kekerasan defensif menjadi ofensif, maka saat itu
juga potensi berubah menjadi kekerasan.
Meski
demikian, kekerasan dalam pendidikan tidak selalu terjadi secara
berurutan dari potensi (ringan), menjadi kekerasan (sedang), lalu
tindak kriminal (berat). Bisa saja kekerasan yang berlangsung hanya
sampai pada potensi saja, tidak berlanjut ke tingkat atasnya. Kadang
terjadi kekerasan berbentuk tindak kriminal, tanpa didahului oleh
potensi maupun kekerasan sebelumnya. Akan tetapi penelitian ini
ditemukan bahwa pada kasus tertentu kekerasan ringan berlanjut
menjadi kekerasan sedang, bahkan menjadi tindak kriminal.
Dari
6 surat kabar yakni Bernas, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos,
Republika, Kompas, Suara Merdeka, yang dipilih secara acak
(random sampling), ditemukan sebanyak 71 kasus potensi
kekerasan atau tingkat ringan yang umumnya terjadi karena sebab
tertentu yakni: masalah sistem Penerimaan Siswa Baru (PSB), masalah
kenaikan biaya pendidikan, masalah demokratisasi dan transparansi,
penyelenggaraan pendidikan, terutama di lingkungan kampus, masalah
lingkungan dan sosial, masalah yang muncul secara spontan karena
adanya momen tertentu, dan masalah lainnya.
Sedangkan
kekerasan dalam kategori sedang, dalam penelitian ini, ditemukan 93
kasus yang sebagian besar muncul secara langsung tanpa didahului oleh
kekerasan sebelumnya. Kasus ini berupa kekerasan antar pihak sekolah,
kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru terhadap
siswa dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus
kekerasan mahasiswa terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan
masyarakat terhadap siswa.
Adapun
kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya berkutat
pada pencabulan, penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan. Siswi
SD dan SLTP termasuk yang sering menjadi korban pencabulan yang acap
kali dilakukan oleh pelaku yang sudah dikenal atau dekat. Sedang
kasus penculikan dilakukan karena motif tertentu seperti permintaan
uang tebusan. Aksi pencurian juga mewarnai kekerasan masyarakat
kepada pihak sekolah/kampus. Sementara tindak kriminal berupa
pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang mencapai 200 kasus
dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik
permanen dan kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di
kalangan pelajar dan mahasiswa, bentuk tindak kriminal yang sering
terjadi adalah peredaran dan konsumsi narkoba sebagaimana yang
terjadi di Sleman dan Yogyakarta.
Humanisasi
Pendidikan
Mengingat
bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi
pendidikan adalah menumbuh-kembangkan subyek didik ke tingkat yang
normatif lebih baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks
yang positif. Disebut subyek didik karena peserta didik bukan
merupakan obyek yang dapat diperlakukan semaunya pendidik, bahkan
seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat
kemanusiannya.
Menurut
Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek,
bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi
pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang
menindasnya. Dunia dan realitasnya bukan “sesuatu yang ada dengan
sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya”,
sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan. Manusia harus
menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya
cipta, dan itu berarti manusia mampu memahami keberadaan dirinya.
Oleh karena itu, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan
realitas diri manusia dan dirinya sendiri, dan harus mampu
mendekatkan manusia dengan lingkungannya.
Adanya
beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela
merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih
jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah urgensi humanisasi
pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan
generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual,
bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu
mengatasi persoalan yang dihadapi.
Dari
beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model pembelajaran
yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom, active
learning, quantum learning, quantum teaching, dan
the accelerated learning.
Humanizing
of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah yang
otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak menyebabkan peserta didik
putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Kasus
ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Jepang. Humanizing of
the classroom ini dicetuskan oleh John P. Miller yang terfokus
pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Pendidikan model
ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri sebagai suatu proses
pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah, mengenali konsep dan
identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran.
Perubahan yang dilakukan tidak terbatas pada substansi materi saja,
tetapi yang lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang
sangat manusiawi.
Active
learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang
dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan
merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada
siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan
sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan
sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan,
memecahkan berbagai masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari.
Dalam
active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan
cepat lupa, dengan cara mendengarkan dan melihat akan ingat sedikit,
dengan cara mendengarkan, melihat, dan mendiskusikan dengan siswa
lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi, dan
melakukan akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk
menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar
aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active
learning menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat
diterapkan hampir untuk semua materi pembelajaran.
Adapun
quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-macam
interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar
momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning menggabungkan
sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan neurolinguistik
dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Quantum learning
mengasumsikan bahwa jika siswa mampu menggunakan potensi nalar dan
emosinya secara jitu akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak
bisa terduga sebelumnya. Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa
meraih prestasi belajar secara berlipat-ganda. Salah satu konsep
dasar dari metode ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan
berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk
informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Sedang
quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang
monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan
gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa
menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral. Quantum teaching
berisi prinsip-prinsip sistem perancangan pengajaran yang efektif,
efisien, dan progresif berikut metode penyajiannya untuk mendapatkan
hasil belajar yang mengagumkan dengan waktu yang sedikit. Dalam
prakteknya, model pembelajaran ini bersandar pada asas utama bawalah
dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita
ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan demikian merupakan kegiatan
full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa
(pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di samping pengetahuan, sikap,
dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini
harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni
(diorkestrasi).
The
accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat.
Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu
berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik konsep
ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam mengelola kelas
menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual, dan
Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai
learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan
berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing
(belajar dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan
learning by observing and picturing (belajar dengan mengamati
dan mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning
by problem solving and reflecting (belajar dengan pemecahan
masalah dan melakukan refleksi).
Bobbi
DePorter menganggap accelerated learning dapat memungkinkan
siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya
yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan
unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, tampak
tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara
berpikir positif, kebugaran fisik dan kesehatan emosional. Namun
semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar
yang efektif.
Dalam
Islam, paradigma pendidikan yang dipakai adalah persenyawaan antara
anthropocentris dan theocentris. Artinya proses
perkembangan moral manusia itu didasari nilai-nilai islami yang
dialogis terhadap tuntutan Tuhan, tuntutan dinamika sosial, dan
tuntutan pengembangan fitrah lebih cenderung kepada pola hidup yang
harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan
belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan dan penghambaan.
Nilai-nilai
kemanusiaan berakar pada penciptaan manusia. Manusia tercipta sebagai
makhluk dinamis yakni manusia terus menerus berkembang dan berubah
setiap saat. Berdasarkan tesis ini, maka nilai-nilai kemanusiaan juga
mengalami perkembangan dan perubahan pula. Nilai-nilai kemanusiaan
itu berubah sejalan dengan perubahan waktu. Berubah berarti mengalami
pergeseran, yaitu bergeser dari satu tahapan menuju ke tahapan yang
lain, dari satu tingkatan menuju ke tingkatan berikutnya.
Dimensi
theocentris (hablun min Allâh) dan
anthropocentris (hablun min al-nâs)
adalah dua dimensi bagaikan dua sisi mata uang. Kesalehan seseorang
kepada Tuhan tidaklah dianggap cukup jika tidak disertai dengan
kesalehannya kepada sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan
demikian, dimensi anthropocentris dan dimensi
theocentris pada hakikatnya mewujudkan kesejahteraan
anthropocentris. Rasa kemanusiaan yang terpisah dari rasa
ketuhanan akan menjadikan manusia memberhalakan manusia. Makna sejati
dari kemanusiaan itu sendiri terletak pada kebersamaannya dengan
ketuhanan. Demikian juga rasa ketuhanan tidak akan memperoleh makna
yang luhur bila tidak diikuti dengan rasa kemanusiaan.
Ada
beberapa prinsip tentang manusia yang dapat dijadikan landasan bagi
kepentingan pendidikan Islam yang humanis yaitu: pertama,
manusia (peserta didik) adalah makhluk termulia yang melebihi
makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, dan hewan. Karena
itu, dalam proses pendidikan, para guru lebih mendahulukan strategi
pembelajaran yang memanusiakan manusia daripada yang bersifat
pemaksaan.
Kedua,
manusia memiliki kemampuan berfikir dan permenungan. Ia dapat
menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan, dan
arena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia adalah
makhluk yang mampu melakukan self-reflection, ia mampu keluar
dari dirinya dan menengok ke belakang, kemudian mengadakan penelitian
dan permenungan. Ketiga, ada perbedaan perseorangan. Yakni
bahwa masing-masing manusia memiliki ciri khas tersendiri berdasarkan
potensi yang dimilikinya, baik lahir maupun batin. Menelaah manusia
hanya pada satu sisi, akan membawa pada stagnasi pemikiran tentang
manusia, sekaligus menjadikannya obyek yang statis.
Keempat,
manusia dalam kehidupannya dipengaruhi dan bersosialisasi dengan
faktor-faktor bawaan dan alam lingkungan, terutama lingkungan sosial.
Manusia membutuhkan sosialisasi di antara mereka. Hubungan antar
manusia didasari oleh hubungan kekhalifahan, kebaikan, dan egaliter.
Manusia lain dipandang sebagai pribadi yang harus dipersilakan
mengembangkan dirinya. Kelima, Manusia dalam kebebasannya
mengolah spiritualitasnya untuk dapat menyadari eksistensi Tuhan.
Menyadari eksistensi Tuhan akan melahirkan tanggung jawab kepada Sang
Ilahi. Menurut Andreas Harefa, lahirnya tanggung jawab itu karena
didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk
langit, makhluk moral spiritual (moral spiritual being) dan
tidak hidup hanya untuk minum dan makan.
Pendidikan
bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual,
melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya
berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan,
teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan.
Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam
pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi
tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
Kesimpulan
Kekerasan
pendidikan masih sering dijumpai dalam pendidikan kita. Berbagai
kasus yang diungkap dalam penelitian ini adalah bukti nyata hal di
atas. Agar pendidikan berjalan tanpa kekerasan, maka perlu
dipertimbangkan pendidikan nilai yang efektif, penerapan metode
pembelajaran yang humanis, dan internalisasi nilai-nilai Islam, moral
dan budaya nasional dalam keseluruhan proses pendidikan. Untuk itu,
pemahaman yang cukup tentang pendidikan yang humanis perlu diketahui
semua pihak yang terlibat dalam pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar