SANTRI,PRIYAYI
DAN ABANGAN
SANTRI
Mojokuto
yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal
dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas
pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri.
Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak
acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih
memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang
menipis (hal. 172). Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial
umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama;
parpol Islam, sistem sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah
masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot.
Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang
kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri.
Perbedaaan
sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka.
Konflik itu dapat terpecahkan oleh kesamaan agama santri (hal. 182). Antara
tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan
kerabat keluaraga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam
satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam
organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai
organisasi sosial (hal. 199).
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis (h. 217).
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis (h. 217).
Sehingga
pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan
santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika
modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil
pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras
dengan tradisi yang berlaku.
Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorga-nisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler. (hal. 227).
Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorga-nisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler. (hal. 227).
Untuk
mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus
dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan
masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan
model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola
pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan
pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait
ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para
kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim
tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai
dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat
Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap
keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri
menguasai birokrasi di Depag.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.
PRIYAYI
Priyayi
mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan
ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat
mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada
keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat,
klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah
keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota
selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada
kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Priyayi
memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni,
berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan
ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus.
Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari
alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku
kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar.
Sementara titik kehidupan “keagamaan� priyayi berpusat
etiket, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada
empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk
pangkat yang tepat, ketidak langsungan, kepura-puraan, dan menghindari
perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan
oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi.
Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal
.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik
adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek,
jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu
mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat
misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman.
Tujuan
pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh
priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan
ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung pada
tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu
tujuan yang sempit (hal. 430).
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.
ABANGAN
Bagi
sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang
kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja
menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap
hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau
dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti
nama, sakit, dll. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa,
pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa
tinggi yang resmi. Dan bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan
proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.
Dalam
tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis
kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti
penanggalan Jawa (3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (4)
slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya
menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan.
Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan
emosional individu karena telah di_-slamet-_i (hal. 17).
Kepercayaan
kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari
misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi,
lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh
atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya
melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan
manusia (hal. 36). Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan
hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus
mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau
kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori
daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan
magi yang berpusat pada peranan seorang dukun (hal.116). Ada beberapa macam
dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit,
dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun
jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui
adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan
masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan (cocog).
Pembagian
masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas
perbedaan pendangan hidup di antara mereka. Subtradisi abangan yang menurut
Geertz didwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional,
serta kepercayaan kepada mahluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada
kehidupan di pedesaan. Subtradisi santri yang ditandai oleh ketaatan pada
ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial dan
politik yang bernafaskan Islam dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak
bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka agama. Subtradisi ketiga,
priayi, ditandai pengaruh mistik Hindu-Budha prokolonial maupun pengaruh
kebudayaan Barat dan dijumpai pada kelompok elite kerah putih (white collar
elite) yang merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Dengan demikian Geertz
melihat adanya keterkaitan erat antara ketiga subtradisi ini –abangan, santri,
dan priayi—dengan tiga lingkungan –desa, pasar, dan birokrasi pemerintahan.
Di
tahun 50-an dan 60-an dijumpai suatu pengelompokan yang terdiri atas partai
politik yang masing-masing mempunyai organisasi massa sendiri –suatu
pengelompokan yang oleh Geertz dinamakan aliran. Di Jawa Geertz mengidentifikasikan
empat aliran: PNI, PKI, Masyumi, dan NU. Yang menarik ialah bahwa pola aliran
tersebut kemudian dikaitkan dengan ketiga subtradisi Geertz, muncul pandangan
bahwa ketiga subtradisi tersebut melandasi pengelompokan aliran. Menurut
pendapat ini aliran berhaluan Islam (Masyumi dan NU) didukung oleh kaum santri,
PNI berintikan kaum priayi, dan PKI didukung oleh kaum abangan.
Sebagaimana
telah disebutkan, klasifikasi Geertz telah memancing berbagai reaksi. Harsya W.
Bachtiar (1973), misalnya, menememukan beberapa masalah dalam klasifikasi
Geertz ini, antara lain mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas
mengemukakan apakah klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya ataukah
klasifikasi kelompok. Sebagai klasifikasi kelompok, pembagian Geertz ini
dipandang tidak memadai karena besarnya kemungkinan tumpang tindih. Dari segi
ketaatan pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang priayi dapat
diklasifikasikan sebagai santri atau abangan.Dalam dinamika sosial, di antara
ketiga golongan tersebut sering ditemukan pola-pola konflik, yakni konflik
idiologi, konflik kelas, dan konflik politik
.
Wah keren sekali tulisannya, aku suka. Kamu hobi baca buku? Butuh rekomendasi novel menarik.
BalasHapusBaca dulu ulasan dari MantuIdaman Blog berikut
- Alias Harga Untuk Sebuah Kematian
- Antologi Fiksi Suker
- Kau Begitu Sempurna
- Novel MR Innocent
Salam hangat, dari
Latifah